Langsung ke konten utama

[Opini Bareng BBI] Bicara tentang Setting

      


      Bicara tentang setting, sebenarnya saya bukan orang yang terlalu cerewet tentang setting kalau sedang membaca buku. Maksudnya gini, ada teman yang bilang kalau dia membaca deskripsi tentang setting tempat di sebuah novel, dia akan membacanya dengan perlahan sembari membayangkan apa yang digambarkan di novel tersebut. Tak cukup sampai di situ, ia akan mengulang lagi membacanya sampai setting tempat itu benar-benar sempurna terbayang dalam imajinasinya. Saya orangnya bukan yang tipe seperti itu. Saya sih biasanya baca aja terus. Kalau nempel ya nempel. Kalau enggak ya sudahlah. Bahkan kalau setting yang detail dan panjaaaaaang banget bakalan saya skip bacanya.

            Saya bisa berubah cerewet tentang setting jika setting itu pernah saya datangi atau rasakan. Baru deh kalau gitu saya bisa detail membacanya. Kalau enggak cocok, bisa cerewet juga ngomel-ngomel di review. Tapiiii… Itu juga kalau memang saya lagi mood bawelnya. Ada juga setting yang enggak cocok tapi karena komponen cerita lainnya saya suka, jadi saya tidak terlalu mempermasalahkannya. Tapi di situlah para penulis harus berhati-hati agar tidak menuliskan setting dengan asal-asalan. Dari sekian banyak kemungkinan pembacanya, siapa tahu ada yang mengenal setting tempat tersebut. Kalau asal-asalan kan jadi ketahuan.


            Semisal, saya pernah saya membaca sebuah novel dengan setting tempat yang baru saya kunjungi. Setting Mekkah dan Madinah dengan setting waktu tahun 2008. Nah, pas banget tahun 2008 saya juga ke Tanah Suci. Jadi, saya tauuuu banget di tahun itu Pasar Seng di Mekkah sudah tidak ada. Jadi, saya tidak bisa menyaksikan wujud Pasar Seng yang kerap diceritakan Mama saya semanjak beliau berhaji di tahun 1992. Eh, di novel dengan setting waktu 2008 malah menyebut Pasar Seng.

            Setting tempat yang bisa saya cereweti juga kalau settingnya kampung halaman saya, suku saya, suka Banjar, Kalsel. Nah, kalau settingnya itu baru deh saya akan dengan pelan-pelan membacanya. Kecuali kalau yang nulis juga urang Banjar seperti Sandi Firly. Hahaha…. Biasanya nih ya kalau setting Kalsel gitu, yang sering rada janggal itu adalah penggunaan bahasa daerahnya. Beberapa novel yang saya baca bahasa Banjarnya kaku dan agak kurang cocok. Jadi, buat para penulis yang butuh penerjemah ke Bahasa Banjar bisa hubungi saya. Hahaha….

            Walau mengaku tidak terlalu perhatian dengan setting tempat, tapi ada juga loh setting tempat yang bikin saya penasaran sehabis membacanya. Yang paling saya ingat novel 5 cm. Sungguh saya kemudian berpenasaran dengan yang namanya Ranu Kumbolo, Puncak Mahameru, dan tempat-tempat lain yang disebutkan di sana. Saya sampai googling dan kepoin blog-blog yang memuat foto-foto tempat itu. Penasaran bagaimana foto negeri di atas awan yang digambarkan di novel tersebut. Makanya saat filmnya rilis, saya penasaran sekali mau nonton. Pengin lihat keindahan Indonesia dan proses pendakian lewat film tersebut. Selain 5 cm, ada beberapa novel lainnya juga yang bikin saya ingin mendatangi tempat tersebut. Seperti Teatrikal Hati dengan Wonosalamnya.

            Bagaimana setting yang kuat dalam sebuah cerita? Saya pernah dengar entah dari mana, kalau komponen cerita itu kuat dan bukan sekadar tempelan jika kita menggantinya dengan yang lain cerita akan terasa janggal. Kalau cerita baik-baik saja, maka komponen cerita itu tempelan. Semisal novel 5 cm lagi, kalau setting pendakian ke Mahamerunya kita ganti dengan yang lain apa menganggu jalan cerita? Jika ya, maka setting itu bukan sekadar tempelan.


            

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Seorang Anak Punya Ibu Tiri dan Ibu Kandung

"Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja..." Itu lirik lagu kan ya? Lirik lagu yang sudah familiar di telinga kita. Sehingga anggapan tentang ibu tiri itu selalu jahat juga seperti sesuatu yang mutlak. Belum lagi banyak cerita-cerita rakyat yang berkisah tentang kejamnya ibu tiri. Sebut saja Bawang Merah Bawang Putih, atau kalau dari daratan eropa ada yang namanya Cinderella. Kisah-kisah tersebut juga mampir di telinga anak-anak zaman sekarang. Sama saja lah dengan anak-anak zaman saya dulu yang beranggapan ibu tiri itu kejam binti jahat. Maka sebuah novel anak yang berjudul Aku Sayang Bunda, mendobrak pemikiran-pemikiran tersebut. Terlebih dengan sasarannya yang ditujukan untuk anak-anak.

Kalap Buku (Penimbun atau Pembaca?)

Akhir tahun kemarin saya meniatkan untuk tidak membeli buku dulu sampai bulan maret. Boro-boro sampai bulan maret, baru awal januari saja saya sudah beli 2 buku di Gramedia Balikpapan. Citra Rashmi dan Metropolis. Dann trus kesengsem dengan promo salah satu teman penulis saya kak Adya Pramudita yang menjual buku beliau dengan tawaran khusus free ongkir seluruh Indonesia. Wuiiih, saya nggak pengin dong melewatkan kesempatan itu. Apalagi beli di penulisnya langsung bisa dapat ttd. Akhirnya beli lah saya buku itu. Niatan buat puasa beli buku tinggal isapan jempol belaka. Tapi, saya masih berniat tuh untuk menahan beli buku. Tapi, pas minggu kemarin saya ke Balikpapan dan selalu menyempatkan mampir di Gramedia, pandangan saya langsung tertuju pada promo buku murah dengan embel-embel 'buku murah dari 5000 s/d 20000' dan 'buku murah dari 10000 s/d 50000'. 

In a Blue Moon - Ilana Tan

Membaca buku yang belum beredar di toko buku itu rasanya sesuatu. Apalagi bukunya banyak ditunggu para fans penulis tersebut. Ada sensasi rasa senang ketika melahapnya. Terima kasih buat ka Fitri Gita Cinta yang sudi meminjamkannya ;-) In a Blue Moon adalah karya terbaru dari Ilana Tan. Buku yang saya baca berstatus Contoh Cetakan dan Tidak untuk dijual. Seperti karya Ilana Tan sebelumnya, unsur romance yang kental tetap menjadi ciri khas Ilana Tan dalam karya teranyarnya ini. Lucas Ford harus menerima perjodohan yang dicetuskan oleh sang kakek. Ketika Lucas bertemu dengan tunangannya itu, Lucas kaget karena dia sudah mengenal gadis itu sebelumnya. Sophie Wilson bukan orang baru dalam kehidupan Lucas, mereka pernah saling mengenal saat masih duduk di bangku SMA. Kakek Lucas pun senang mengetahui cucunya sudah mengenal dengan seseorang yang dia ingin jodohkan. Namun, Sophie menegaskan sesuatu, “Kami hanya bersekolah di SMA yang sama. Tidak bisa dibilang berteman.”