Langsung ke konten utama

Happily Ever After



“And they live happily ever after. Setiap dongeng kan berakhir begitu. Kesannya gampang, tapi di dunia nyata, memangnya ada yang kayak gitu?” Seorang anak yang suka membaca dongeng bersama ayahnya bertanya hal itu. Anak gadis itu bernama Lulu. Lulu besar denngan dunia dongeng yang kerap diceritakan ayahnya setiap malam. Lulu tumbuh besar dengan suka berpetualang, mengeksplorasi berbagai macam hal. Dalam hal ini dia punya sekutu alias sahabat yang juga suka berpetualang. Karin, nama sahabatnya itu.

Mereka berbagi banyak hal bersama. Melakukan banyak kegiatan berdua. Lulu kerap bermalam di rumah Karin, begitu pun sebaliknya. Namun, adakah persahabatan abadi di dunia ini?

Semuanya tiba-tiba berubah. Karin berubah dan persahabatan mereka juga berubah. Tak ada lagi Karin yang selalu bersama Lulu, bahkan mereka kini berubah wujud menjadi musuh. Karin yang seiring dengan masa pubertasnya tumbuh menjadi gadis yang cantik tak lagi bersama Lulu yang kerap di-bully teman-temannya. Justru keadaan berbalik, Karin menjadi gadis populer yang suka mem-bully. Termasuk mem-bully Lulu, mantan sahabatnya.

Tak cukup sampai di situ. Ezra, seorang cowok yang disukai Lulu, kemudian menjadi pacarnya akhirnya mengkhianatinya. Pada suatu hari Ezra bergandengan tangan memasuki gerbang sekolah bersama Karin. Persahabatan mereka benar-benar berakhir.

Lulu pun mempertanyakan adakah hidup berbahagia selama-lamanya seperti dongeng yang kerap dia baca? Terlebih saat satu kenyataan menghantam kehidupannya. Ayahnya, ayah yang paling membanggakan dan menyayanginya divonis mengidap kanker. Ayahnya yang kuat dan lucu harus bolak-balik memasuki rumah sakit untuk perawatan. Fisik ayahnya pun semakin menurun digeregoti sel-sel kanker tersebut.

Lulu sering menemani ayahnya ke rumah sakit. Di sana, dia bertemu Eli. Seorang cowok seumurannya yang juga penderita kanker. Seseorang yang dijumpai Lulu bermain tetris di kolong tempat tidur. Eli yang selalu menjaga harapan agar dia bisa sembuh dan lepas dari penyakit kanker.

***

Sudah lama sekali saya tidak membaca karya Winna Efendi, apalagi membelinya. Terakhir saya membeli Refrain sekitar 4 tahun yang lalu. Saya tertarik membeli dan membaca karya Winna kali ini karena disebut ini bercerita tentang keluarga dan temanya tak beda jauh dengan Priceless Moment dan Sabtu Bersama Bapak. Gagas lagi sering ya menerbitkan buku yang seperti ini. Tidak apa-apa, justru lebih menyenangkan.

Membaca novel ini saya seolah larut dengan suasana sendu dan kesedihan. Melihat kedekatan antara Lulu dan ayahnya kemudian harus menghadapi kenyataan ayahnya didera penyakit yang mematikan dengan harapan kesembuhan yang tipis. Belum lagi masalah Lulu yang dikucilkan di sekolahnya, persahabatannya yang muram dengan Karin juga ketertarikan hatinya pada Eli dan ketakutan Lulu karena Eli juga menderita kanker. Lulu merasa tak sanggup menghadapi jika suatu saat Eli juga akan meninggalkannya.

Tapi Winna mengemas semua konflik itu dengan ciamik. Harus diakui penulis yang satu ini memang piawai dalam merangkai kata-kata. Apalagi dengan selipan dongeng-dongeng di dalamnya juga informasi tentang penyakit kanker yang menyatu dengan manis dalam cerita. Saya memberikan bintang 3 di goodreads untuk novel ini. Bukan berarti tidak bagus. Tapi karena saya hanya tidak suka dengan suasana sedih yang menyelimuti hati saya saat membacanya. Padahal seharusnya sih bintang 4 yeee….

Terakhir ini adalah jawaban Ayah untuk pertanyaan Lulu yang saya tulis di paragraph awal.
“Hanya karena sebuah cerita nggak berakhir sesuai keinginan kita, bukan berarti cerita itu nggak bagus. Happily ever after itu masalah persepsi, Lu. Kabahagiaan selama-lamanya yang sesungguhnya dirasakan di sini.” Tangannya bergerak menuju hati.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Seorang Anak Punya Ibu Tiri dan Ibu Kandung

"Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja..." Itu lirik lagu kan ya? Lirik lagu yang sudah familiar di telinga kita. Sehingga anggapan tentang ibu tiri itu selalu jahat juga seperti sesuatu yang mutlak. Belum lagi banyak cerita-cerita rakyat yang berkisah tentang kejamnya ibu tiri. Sebut saja Bawang Merah Bawang Putih, atau kalau dari daratan eropa ada yang namanya Cinderella. Kisah-kisah tersebut juga mampir di telinga anak-anak zaman sekarang. Sama saja lah dengan anak-anak zaman saya dulu yang beranggapan ibu tiri itu kejam binti jahat. Maka sebuah novel anak yang berjudul Aku Sayang Bunda, mendobrak pemikiran-pemikiran tersebut. Terlebih dengan sasarannya yang ditujukan untuk anak-anak.

Ketika Anak Kecil Jadi Pengusaha

   Dalam membaca buku anak, saya lebih suka membaca buku anak yang ditulis orang dewasa. Walaupun ketika membacanya, kadang tercetus dalam benak saya, kalau si anak yang menjadi tokoh itu kadang terlalu dewasa melebihi usianya. Tapi, toh namanya anak-anak zaman sekarang ya, Bok. Saya aja sering takjub dengan celutukan adek sepupu saya yang berusia 5 tahun. Kadang celutukannya udah kayak orang gede aja.    Saat membaca Reisha Si Pengusaha Cilik saya juga beberapa kali merasa, ih, ini omongan Reisha kok nggak seperti anak kelas 1 SD. Tapi, ternyata keheranan itu tidak hanya terjadi pada saya. Mamanya Reisha aja suka takjub dengan kata-kata yang keluar dari mulut Reisha. Semisal nih waktu Reisha berkata : “Aku punya rival dagang, Ma.” Mama pun dengan ketakjubannya berujar dalam hati. Rival? Di mana pula bocah kecil itu mendengar kata tersebut? (Hal 50)    Ada penjelasan di narasi juga yang menurut saya sedikit terlalu dewasa untuk ukuran buku anak. Seperti ketika menjela...

Kalap Buku (Penimbun atau Pembaca?)

Akhir tahun kemarin saya meniatkan untuk tidak membeli buku dulu sampai bulan maret. Boro-boro sampai bulan maret, baru awal januari saja saya sudah beli 2 buku di Gramedia Balikpapan. Citra Rashmi dan Metropolis. Dann trus kesengsem dengan promo salah satu teman penulis saya kak Adya Pramudita yang menjual buku beliau dengan tawaran khusus free ongkir seluruh Indonesia. Wuiiih, saya nggak pengin dong melewatkan kesempatan itu. Apalagi beli di penulisnya langsung bisa dapat ttd. Akhirnya beli lah saya buku itu. Niatan buat puasa beli buku tinggal isapan jempol belaka. Tapi, saya masih berniat tuh untuk menahan beli buku. Tapi, pas minggu kemarin saya ke Balikpapan dan selalu menyempatkan mampir di Gramedia, pandangan saya langsung tertuju pada promo buku murah dengan embel-embel 'buku murah dari 5000 s/d 20000' dan 'buku murah dari 10000 s/d 50000'.