![]() |
Covernya Cakep |
Hari minggu beberapa waktu yang
lalu saya dikagetkan oleh sebuah berita duka dari kampung halaman saya. Puteri
bungsu ulama besar dari kampung saya meninggal dunia karena sakit. Usianya
masih sangat muda, masih 16 tahun. Saya malahan masih ingat saat abah saya
diundang ke acara tasmiyah (memberi nama) almarhumah. Saat abah pulang dari
sana, saya bertanya, dikasih nama siapa oleh Guru (Ulama atau Ustadz di kampung
saya biasanya dipanggil Guru) putri bungsu beliau? Kalau kata-kata orangtua di
kampung saya, umur kada babau.
Artinya kematian itu memang misteri, bisa datang begitu saja dan tiba-tiba.
Kematian yang tiba-tiba akan
membuat orang disekitarnya yang ditinggalkan berduka. Saya aja rasanya larut
dalam kesedihan sepanjang hari minggu kemarin, padahal saya hanya mengenal
almarhumah sekadarnya saja. Apalagi orang-orang terdekat, seperti orangtua,
kakak-kakaknya, keponakannya, juga orang-orang yang akrab dengannya. Seperti
kesedihan yang dirasakan Dania saat kehilangan Andro pada cerita di novel The
Coffee Memory karya Riawani Elyta.
Kepergian Andro membuat Dania
seperti kehilangan semangat hidup. Semasa hidupnya Andro punya sebuah café yang
bernama Katjoe Manis dan Dania pun lantas menginstruksikan semua karyawan untuk
libur sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Kebiasaannya tidur lagi saat
pagi tiba. Malah hal itu sempat dikritik putranya, Sultan. “Tadi Oma bilang
bahwa tidur pagi itu enggak bagus. Kata Oma, jauh rezeki. Buktinya, sekarang
yang kasih Sultan jajan bukan Mama lagi, tapi Oma.” Iiih… Sultan pinter banget.
Kata-katanya jleeeb!
Dania pun mencoba bangkit, kembali
mengurus Katjoe Manis yang ditinggalkan suaminya. Bukan pekerjaan mudah, karena
sebelumnya Dania hanya ikut mengurus sekadarnya. Apalagi Katjoe Manis
kehilangan barista utamanya yaitu Andro dan 2 karyawan lain yang resign.
Otomatis Dania memerlukan karyawan baru. Dari hasil seleksi diterimalah
seseorang bernama Barry.
Masalah pun silih berganti muncul
menerpa Katjoe Manis. Seperti munculnya Redi, abang iparnya Dania yang
mengusulkan agar Katjoe Manis dijual padanya. Juga adanya café sejenis yang
muncul di dekat Katjoe Manis berada. Café itu malah ternyata dipunyai oleh
seseorang bernama Pram, teman masa lalu Dania yang terang-terangan menunjukkan
ketertarikannya pada Dania. Masalah lain lagi adalah cafenya Pram ternyata
membujuk salah satu karyawan Katjoe Manis untuk bergabung di sana. Hari demi
hari, pelanggan Katjoe Manis pun semakin berkurang.
***
Membaca The Coffee Memory membuat saya rasanya
ingin duduk di sebuah café dengan aroma kopi yang menyebar di seantero ruangan.
Menikmati kopi yang tersaji di depan saya dalam suasana yang nyaman. Sesuai
judulnya buku ini pun kental dengan urusan perkopian. Juga ada beragam tips dan
informasi tentang kopi juga coffee shop. Tips dan informasi selain dalam cerita
juga tersaji dalam sebuah kotak kata sebagai pembuka bab.
Novel ini juga memancing diskusi
saya dan suami lagi tentang etis atau tidak etisnya jika seorang karyawan
berpindah kerja kepada saingan dari tempat dia bekerja sebelumnya dengan
tawaran gaji yang lebih tinggi. Hemm… Gaji yang lebih tinggi ditawarkan juga
karena pengamalan kerja si karyawan yang didapatkannya dari tempat dia bekerja
terlebih dahulu. Etis enggak sih?
Satu hal yang saya harapkan ketika
mulai membaca novel ini adalah tidak munculnya kata visual. Hahaha…. Dan
harapan saya tidak terkabul. Kata visual tetap muncul dalam karya penulis yang
satu ini. Jujur, dalam novel sebelumnya yang saya baca, saya terganggu dengan
penggunaan kata visual. Untunglah di novel ini hanya sedikit visual itu muncul.
Itu pun ada di bagian akhir saat saya sudah sangat menikmati ceritanya.
Unsur romance-nya terasa kurang
tapi cukup mempermanis jalan cerita. Apalagi endingnya. Bikin pipi saya
menghangat saat membacanya. Heran juga padahal tidak ada kontak fisik antara
kedua tokohnya tapi berasa romantisnya. Ini yang saya sukai dari cerita yang
ditulis penulisnya. saya suka
dengan tipe orang mencintai seperti yang dituturkan Ratih 'jatuh cinta nggak
hanya membuat orang jadi banyak melamun dan tersenyum-senyum sendirian, tetapi
juga bisa mendorong hal-hal yang positif' seperti yang dilakukan Barry pada
Dania di novel ini.
Trus… Waktu itu abangnya Andro si
Redi muncul, saya mengendus kalau konflik akan dibuat oleh si Redi. Saya sampai
nyelutuk kalau saya tidak suka sama orang jahat. Tapi ternyata si Redi tidak
terlalu membuat konflik dalam alunan ceritanya.
Di satu sisi saya senang karena saya enggak suka orang jahat, di sisi
lain itu juga bikin konflik cerita jadi kurang dalam. *pembaca labil* :D
Dan saya berharap kalau novel ini
akan ada sekuelnya, karena masih banyak cerita di dalamnya yang bisa
dikembangkan termasuk hubungan antara Dania dan Barry. Oya, tentang tulisan
Katjoe Manis saya skip buat ikut komentar ya. Udah banyak yang ngomentarin
tentang kekeliruan penulisan Katjoe Manis :D
Judul
: The Coffee Memory
Penulis
: Riawani Elyta
Penerbit
: Bentang Pustaka
ISBN : 978-602-7888-20-3
Tahun Terbit : Maret, 2013
Tebal Buku : 226 halaman
ISBN : 978-602-7888-20-3
Tahun Terbit : Maret, 2013
Tebal Buku : 226 halaman
jadi penasaran sama bukunya Mba. Keren sepertinya ceritanya..
BalasHapusIya, Mas Dani. Bisa belajar tentang bisnis cafe :D
Hapusmakasih YAnti untuk reviewnya :) saya juga masih mencari2 ketepatan penggunaan visual. dalam thesaurus Inggris, visual bisa berupa kata sifat dan kata benda. saat berfungsi sbg kata benda, derivatnya termasuklah mata, optik, dsb. Saya menerima semua kritik ttg penggunaan 'visual', tp, yang mengherankan saya, 3 novel sy di 3 penerbit berbeda, penggunaan visual gak pernah dipangkas editor2nya, hehe, nurut hemat saya sih, kalo memang gak tepat, harusnya dipangkas, jadi saya juga gak keterusan salah, hehe
BalasHapusHihihi... Iya, Mbak Lyta. Visual ada di Yasmine yang terbitan Indiva, Coffee Memory ini yang terbitan Bentang dan AMOT yang terbitan GPU ya. Jadi lolos dri editan editor yang berbeda. Mungkin karena tidak biasa jadi merasa rada janggal ya mbak :D
Hapus