Sebuah perjalanan
selalu menghadirkan cerita-cerita baru. Cerita baru dari tempat baru yang
didatangi atau kawan seperjalanan yang baru dijumpai. Apalagi kalau perjalanan
itu menempuh jarak yang jauh dan dalam waktu yang lama. Semakin banyak pengalaman dari perjalanan tersebut.
Kapal Blitar Holland
adalah kapal yang mengantar para jamaah haji Indonesia (Hindia Belanda namanya
waktu itu) ke Tanah Suci pada tahun 1938. Pada waktu itu muslim dan muslimah
yang mau berangkat haji menggunakan kapal laut untuk menunaikan rukun islam kelima.
Ada beberapa orang
dalam kapal Blitar Holland yang menjadi sentral cerita. Ada seorang alim yang
bernama Ahmad Karaeng yang dipanggil sebagai Gurutta (Guru Kami). Ahmad Karaeng merupakan keturunan Raja Gowa
pertama yang memeluk Islam, Sultan Alauddin. Dalam darahnya mengalir darah raja
paling terkenal di Sulawesi, Sultan Hasannuddin – yang adalah cucu Sultan
Alauddin. (Halaman 18)
Penumpang lainnya
bernama Daeng Andipati. Daeng Andipati berangkat bersama keluarga, istri dan
dua anak serta satu asisten rumah tangga mereka. Anna dan Elsa adalah anak dari
Daeng Andipati yang ceria dan cerdas. Keceriaan mereka selalu menerbitkan
senyum bagi penumpang kapal yang lain.
Selain penumpang ada crew kapal yang juga menjadi cerita di
novel ini. Ambo Oleng adalah pelaut Bugis yang direkrut oleh Kapten Phillips
yang merupakan Kapten Kapal. Niat Ambo Oleng mendaftar menjadi kelasi di Blitar
Holland semata-mata karena ia ingin pergi jauh dari tempat dia tinggal. Membawa
sebuah luka yang teramat menyakitkan karena wanita yang dicintainya dijodohkan
keluarganya dengan lelaki lain.
Kapal Blitar Holland
berangkat dari Makasar, kemudian berlabuh di beberapa pelabuhan untuk
mengangkut penumpang calon jamaah haji yang lain. Di Surabaya, Semarang,
Batavia, Lampung, Padang, juga Aceh. Saat di Semarang, ada calon jamaah haji
yang sudah renta yang dipanggil Mbah Kakung dan Mbah Puteri. Calhaj lansia ini
menarik perhatian kapal karena kemesraan mereka walau sudah berusia lanjut.
Mbah Kakung dan Mbak Puteri menempati kabin yang bersebelahan langsung dengan
kabin Daeng Andipati dan keluarga.
Perjalanan yang tidak
sebentar membuat penumpang kapal Blitar Holland melakukan aktivitas sehari-hari
di atas kapal di tengah lautan. Gurutta yang mengambil inisiatif untuk tetap
melakukan kegiatan-kegiatan di atas kapal tersebut. Agar kegiatan para
penumpang tidak hanya makan, tidur dan shalat. Maka ada sekolah tiap pagi buat
anak-anak, pelajaran mengaji di sore hari buat anak-anak juga yang diajar oleh Bonda Upe, juga majelis ilmu tiap
sehabis shalat subuh yang diisi oleh Gurutta.
Dalam perjalanan itu
pula tersibak pertanyaan-pertanyaan yang selama ini mendekam dalam benak
beberapa tokoh di dalamnya. Setiap perjalanan selalu disertai oleh
pertanyaan-pertanyaan. (Halaman 222). Pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung
mereka temukan jawabannya dan terus membebani perjalanan hidup hingga ke perjalanan
ke tanah suci.
Salah satunya
pertanyaan dari Daeng Andipati. Seseorang berkata bahwa hidup Daeng Andipati
begitu sempurna karena berasal dari keluarga terpandang, lulusan sekolah di
Rotterdam, punya usaha yang sukses hingga bergelimang harta, punya istri dan
dua anak yang cantik juga menggemaskan. “Itu benar, jika kau hanya melihat dari
luarnya. Mungkin aku bahagia, tapi tidak seperti itu,” kata Daeng Andipati.
Setelah itu Daeng
Andipati pun bercerita kalau hidupnya tidak sesempurna kelihatannya. Dia
menyimpan kebencian yang teramat sangat kepada ayahnya. Daeng Andipati tumbuh
besar dengan melihat ayahnya yang ringan tangan. Ayahku suka memukul. Jika
marah, dia akan memukul kami. Dia juga suka memukul Ibu. Tidak terbilang berapa
banyak pukulan yang diterima oleh Ibu,” jelas Daeng Andipati. (Halaman 367)
Gurutta yang menjadi tempat
bertanya Daeng Andipati mencoba menjawab pertanyaan Daeng Andipati.
“Ketahuilah, Nak, saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu bukan persoalan
apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu memang jahat atau
aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang karena kita berhak atas
kedamaian di dalam hati. (Halaman 374)
Selain pertanyaan Daeng
Andipati, masih ada empat pertanyaan besar lain dari orang yang berbeda. Pertanyaan-pertanyaan
besar yang dibawa lima penumpang di dalam kapal Blitar Holland adalah kegalauan
yang bisa menimpa setiap anak manusia. Jika kita memahami dengan baik jawaban
dari pertanyaan itu maka itu adalah sebuah nasehat yang berharga sekali.
Tentang masa lalu yang kelam, tentang kebencian yang mendekam dalam dada,
tentang cinta yang tak bisa lagi diperjuangkan, dan tentang kehilangan juga
melawan kemunkaran.
Persinggahan kapal di
beragam kota membuat penulis menjabarkan tentang kota yang disinggahi tersebut
dalam setting sebelum kemerdekaan. Begitupun informasi lain yang bisa menambah
wawasan kita tanpa merasa dijejali dengan beragam informasi tersebut karena
diselipkan dalam cerita.
***
Judul :
Rindu
Penulis :
Tere Liye
Penyunting : Andriyati
Penerbit :
Republika
Tebal Buku : ii + 544 Halaman
ISBN :
978-602-8997-90-4
Tahun Terbit : Cetakan I, Oktober 2014
**
Resensi ini dimuat di harian Tribun Kaltim, 4 Januari 2015.
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda