Langsung ke konten utama

Cerita Anak Loksado dalam LAMPAU



Rasanya baru pertama kali saya membaca novel terbitan Gagas Media yang unsur lokalitasnya kental banget. Saya juga nggak tau sih apa ini novel pertama dengan unsur lokalitas yang kental yang diterbitkan Gagas, soalna saya jarang memburu novel dengan unsur lokalitas yang kental. Saya lebih suka novel-novel yang bersetting kota metropolitan. Soalna saya kan udah tinggal di kampong, Cyin. Hahaha…. Jadi, bolehlah saya menengok kehidupan di kota besar lewat tulisan-tulisan :p :p :p

Tapi, novel Lampau ini memang beda. Karena bersetting di salah satu daerah di Kalimantan Selatan. Itu kampung saya, Bok. Walaupun setting yang diambil di novel itu belum pernah saya datangi, kecuali Kandangan dan Banjarbaru tentunya. Saya belum pernah ke Loksado. Jangankan Loksado, Tanuhi juga belum pernah :p


Setting novel ini ada di Loksado, mengambil tokoh utama orang yang berasal dari sana dengan dekapan adat yang begitu kental. Ayuh atau Sandayuhan ditakdirkan terlahir dari seorang Balian, seseorang yang dinilai sakti di Loksado sana. Mendengar Balian ingatan saya langsung melayang pada scene film 12 menit, pada ayahnya Lahang dan sederet pengobatan untuknya. Mungkin seperti itu ya Balian yang dimaksud di novel ini.

Tapi, Ayuh yang dalam darahnya juga mengalir darah ayahnya yang bukan warga Loksado, tidak serta merta meloloskan keinginan ibunya untuk menjadi Balian. Ayuh yang sedari kecil tertarik pada buku yang dipinjamkan Amang Dulalin menginginkan untuk bisa terbang dari Loksado. Menuntut ilmu hingga ke negeri Cina. Setelah tamat SD, Ayuh memohon izin pada ibunya untuk meneruskan sekolahnya. Ibunya menolak karena kekurangan biaya, tapi Ayuh tahu jalan keluar untuk masalahnya itu. Lewat Guru Agama Islam, dia tahu ada satu tempat yang bisa menampungnya secara gratis yaitu pondok pesantren. Namun, masalahnya Ayuh adalah penganut agama Kaharingan. Bagaimana bisa dia menimba ilmu di Pondok Pesantren. 

Ayuh yang kekeraskepalaannya menurun dari ibunya tetap keukeuh ingin melanjutkan sekolah. Maka, diantar Amang Dulalin dia pun ke pondok pesantren itu. Menempati sebuah ruangan di pojok pesantren, tempat di mana mereka yang mondok gratis ditempatkan. Di sana Ayuh satu kamar dengan Ariz dan Hendy. Ariz yang begitu sabar dan menjadi teman terbaik Ariz, dan Hendy yang pemberontak, anak orang kaya yang dimasukkan pesantren karena tidak naik kelas yang kerap berseteru dengan Ayuh. Puncaknya adalah saat Ayuh difitnah dan membuat dia memutuskan meninggalkan pesantren.

Ayuh pun kemudian berpetualang dari satu tempat ke tempat lain, sampai kemudian langkahnya berada di Jakarta. Merintis sebuah cita-cita yang dia idamkan sejak kecil. Cita-cita yang mengubah hidupnya.

Saya cukup bangga membaca novel ini karena mengangkat setting dari salah satu daerah di provinsi saya. Walau dalam dialog di novel ini nyaris tidak ada bahasa Banjarnya, tapi kelihatan banget kok kalau yang nulis urang Banjar. Soalna ada kata daun sup dan limau nipis. Hahaha… Banjar banget itu…

Loksado memang terkenal dengan sungainya yang deras dan bisa berarung jeram di sana (CMIIW ya). Di novel ini juga ada diceritakan tentang aktivitas menyusuri derasnya sungai amandit itu. Tadinya saya pikir kalau anak-anak Loksado sudah terbiasa berada di atas lanting untuk menyusuri sungai amandit itu semenjak mereka kecil. Tapi ternyata tidak ya, Ayuh dan teman-temannya baru pertama kali menyusuri sungai Amandit dengan lantingnya pada usia 13 tahun.

Ada bagian yang saya agak gimana gitu saat menceritakan tentang pesantren. Lewat cerita di dalam novel ini seperti pesantren itu cendrung memihak kepada mereka yang menjadi donator buat pesantren. Ya agak gimana aja baca bagian ini. Apalagi Ayuh memilih meninggalkan sebelum kasus tuntas. Jadi, belum terlihat nilai keadilan yang diusung pesantren. Saya memang bukan anak pesantren, tapi saya menghormati lembaga pendidikan itu. 

Kemudian, tulisan di cover belakang, tidak terlalu menampakkan cerita. Karena apa yang tersaji di bagian belakang hanya secuil dari isi cerita. Ceritanya sih lebih pada Perjuangan anak Loksado menerjang hidup dan meraih cita-cita. Sisi romantismenya sedikiiit sekali. 

Saat Ayuh di Jakarta, saya tertawa lepas ketika ada cerita untuk membuat orang gentar dengan jawaban Barli tentang ‘Dayak Kalimantan’. Saya jadi ingat saat saya bertandang ke ibukota saat masih kecil dulu. Di satu pusat perbelanjaan kami diikuti oleh seorang pria. Ketika pria itu mendekat dan bertanya pada uwa saya. “Orang Kalimantan ya, Bu?” dan dijawab uwa saya. “Iya, makan orang.” Pria itu langsung ngacir dari hadapan kami. Jadi, emang efektif deh ya ‘senjata’ itu. Wkwkwkwk….

Nah, menjelang akhir saya mau ada SPOILER dikit nih. Yang nggak suka SPOILER, jangan dibaca ya. Jadi, ya, di nyaris bagian akhir Lampau ini kan ceritanya si Ayuh ngirim novel tuh. Yang saya bingung, dia kan ngirim ke 3 penerbit sekaligus. Padahal yang saya baca dia Cuma ngetik 1 novel. Jadi? 1 novel untuk 3 penerbit? Itu pan nggak boleh kan ya? Trus nih dari cerita ini kayakna kalau udah nerbitin 1 novel bisa hidup sejahtera ya? Benar-benar menjadi angin segar buat para calon penulis kalau abis baca novel ini :D

Judul : Lampau
Penulis : sandi Firly
Editor : Gita Romadhona &eNHa
Penerbit : GagasMedia
Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku : x + 346 Halaman

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Seorang Anak Punya Ibu Tiri dan Ibu Kandung

"Ibu tiri hanya cinta kepada ayahku saja..." Itu lirik lagu kan ya? Lirik lagu yang sudah familiar di telinga kita. Sehingga anggapan tentang ibu tiri itu selalu jahat juga seperti sesuatu yang mutlak. Belum lagi banyak cerita-cerita rakyat yang berkisah tentang kejamnya ibu tiri. Sebut saja Bawang Merah Bawang Putih, atau kalau dari daratan eropa ada yang namanya Cinderella. Kisah-kisah tersebut juga mampir di telinga anak-anak zaman sekarang. Sama saja lah dengan anak-anak zaman saya dulu yang beranggapan ibu tiri itu kejam binti jahat. Maka sebuah novel anak yang berjudul Aku Sayang Bunda, mendobrak pemikiran-pemikiran tersebut. Terlebih dengan sasarannya yang ditujukan untuk anak-anak.

Ketika Anak Kecil Jadi Pengusaha

   Dalam membaca buku anak, saya lebih suka membaca buku anak yang ditulis orang dewasa. Walaupun ketika membacanya, kadang tercetus dalam benak saya, kalau si anak yang menjadi tokoh itu kadang terlalu dewasa melebihi usianya. Tapi, toh namanya anak-anak zaman sekarang ya, Bok. Saya aja sering takjub dengan celutukan adek sepupu saya yang berusia 5 tahun. Kadang celutukannya udah kayak orang gede aja.    Saat membaca Reisha Si Pengusaha Cilik saya juga beberapa kali merasa, ih, ini omongan Reisha kok nggak seperti anak kelas 1 SD. Tapi, ternyata keheranan itu tidak hanya terjadi pada saya. Mamanya Reisha aja suka takjub dengan kata-kata yang keluar dari mulut Reisha. Semisal nih waktu Reisha berkata : “Aku punya rival dagang, Ma.” Mama pun dengan ketakjubannya berujar dalam hati. Rival? Di mana pula bocah kecil itu mendengar kata tersebut? (Hal 50)    Ada penjelasan di narasi juga yang menurut saya sedikit terlalu dewasa untuk ukuran buku anak. Seperti ketika menjela...

Kalap Buku (Penimbun atau Pembaca?)

Akhir tahun kemarin saya meniatkan untuk tidak membeli buku dulu sampai bulan maret. Boro-boro sampai bulan maret, baru awal januari saja saya sudah beli 2 buku di Gramedia Balikpapan. Citra Rashmi dan Metropolis. Dann trus kesengsem dengan promo salah satu teman penulis saya kak Adya Pramudita yang menjual buku beliau dengan tawaran khusus free ongkir seluruh Indonesia. Wuiiih, saya nggak pengin dong melewatkan kesempatan itu. Apalagi beli di penulisnya langsung bisa dapat ttd. Akhirnya beli lah saya buku itu. Niatan buat puasa beli buku tinggal isapan jempol belaka. Tapi, saya masih berniat tuh untuk menahan beli buku. Tapi, pas minggu kemarin saya ke Balikpapan dan selalu menyempatkan mampir di Gramedia, pandangan saya langsung tertuju pada promo buku murah dengan embel-embel 'buku murah dari 5000 s/d 20000' dan 'buku murah dari 10000 s/d 50000'.