Keluarga merupakan hal penting dalam kehidupan seorang
anak manusia. Begitu juga dengan anak-anak terbuang dalam asuhan rumah asuh
Bunda Wulan, mereka merindukan dan berjuang mendapatkan atau menemukan keluarga
seperti Septiani dan Oktavano, si kembar yang selalu gagal mendapatkan orangtua
asuh. Hal ini disebabkan karena Septi
yang tumbuh sempurna tidak ingin diadopsi sendirian tanpa Okta.
Para
calon orangtua asuh mereka selalu menolak kehadiran Okta karena Okta adalah
penyandang sindrom Asperger. Sindrom Asperger mirip dengan autisme. Sindrom Asperger adalah gejala kelainan
perkembangan saraf otak. Tapi, penyandangnya memiliki kecerdasan dan
perkembangan bahasa yang normal. Hanya gagap dalam hubungan sosial dan kurang
cakap berkomunikasi. Mereka memandang dunia dengan cara yang berbeda. (Halaman
47).
Jika
Septi dan Okta masih berjuang menemukan orangtua asuh, lain lagi dengan Maylana
atau yang biasa dipanggil Maya. Bagi Maya, bunda Wulan dan adik-adiknya di
rumah asuh Bunda Wulan adalah keluarganya. Lebih baik ia tidak menemukan
orangtua karena berarti ia akan mengetahui alasan mereka membuangnya. Alasan
yang kemungkinan besar sangat menyakitkan. (Halaman 125)
Maya
biasa gigih dan bertanggung jawab. Maya membenci citra anak panti asuhan
miskin. Mereka mungkin tidak berbapak-ibu, pada awalnya hidup dari belas kasih
orang, atau dipelihara negara. Tetapi, tidak boleh begitu selamanya. (Halaman
104). Karena itulah Maya bekerja semenjak dia masih kecil dan tak ada waktu
baginya untuk menikmati hidup.
Kehidupan
Maya menjadi lebih berwarna setelah kehadiran Geo. Seorang pemuda tampan dan
baik hati yang kakaknya adalah tetangga tempat Maya tinggal. Geo hadir dengan
segala kebaikannya dan juga dengan masalah yang dihadapinya. Geo merasa
tertekan dengan desakan keluarganya yang terus menuntut dia menjadi pewaris
tunggal keluarga. Hal yang membuat Geo ingin sendirian di dunia, hidup tanpa
keluarga.
Hal
yang sama juga dialami Juno. Teman yang tumbuh bersama Maya dalam pengasuhan
Bunda Wulan. Juno di masa usianya 14 tahun dijemput oleh ibu kandungnya di
rumah asuh Bunda Wulan. Tapi kehidupan bersama ibu kandungnya tidak serta merta
membuat Juno bahagia. Ibunya yang menderita depresi justru terus merongrong
kehidupan Juno sehingga menjadi rumit. Juno menjadi terbelit utang akibat
kelakukan ibunya. Apa yang terjadi pada Septi, Okta, Geo dan Juno membuat Maya
berpikir begitu sulitkah menemukan keluarga dan begitu sulitkah berada di tengah keluarga? (Halaman 101)
Geo
dan Juno yang kehadiran mereka terus membantu Maya juga membuat Maya bimbang
untuk memilih salah satu diantara keduanya. Geo terang-terangan menyatakan
perasaannya pada Maya dan juga telah berhasil menemukan jalan untuk mendapatkan
restu keluarga untuk berhubungan dengan Maya. Sedangkan Juno walau tidak
terang-terangan tapi Juno bagi Maya sudah seperti nafas. Saat bercerita tentang
dirinya pada Geo, Juno disebutkan oleh Maya seperti udara yang harus dihirup
kalau tidak mau kehabisan napas. (Halaman 199)
Pangeran
Bumi, Kesatria Bulan adalah sebuah novel dengan setting anak-anak di sebuah
rumah asuh yang terbuang dan tidak mengenal orang tua mereka. Novel yang dapat
mempertebal kepekaan pembaca akan kehidupan anak-anak di panti asuhan atau
rumah asuh. Meski mereka tidak mengenal dan mengetahui siapa orang tua mereka, tapi
mereka juga adalah anak manusia yang punya cita-cita untuk kehidupan yang lebih
baik.
Dalam
salah satu adegan di novel ini yang bercerita tentang Augy, salah satu anak
asuh di rumah asuh Bunda Wulan juga menyadarkan kita akan pentingnya berempati
pada para anak-anak terbuang itu. Augy diceritakan protes karena berita tentang
anak terbuang justru diberitakan di media televisi oleh presenter yang
menyatakan keprihatinannya justru dengan nada dan suara yang bertolak belakang
dan dengan pakaian dan dandanan pesta. Bahkan wajah presenter yang sering
di-close-up menampilkan senyum dan binar mata yang menggoda. Hal itu sangat
menyakitkan buat mereka yang merupakan bayi-bayi terbuang. (Halaman 243)
***
Judul : Pangeran Bumi, Kesatria Bulan
Penulis
: Ary Nilandari
Penyunting : Prisca Primasari
Penerbit : Qanita
Tebal
Buku : 324 Halaman
ISBN
: 978-602-1637-38-8
Tahun
Terbit : Cetakan I, Juni 2014
*Resensi ini dimuat di Koran Jakarta 9 Agustus 2014*
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda