Indonesia mengalami peristiwa besar di tahun 1998 yang
sampai sekarang pun masih teringat di benak orang-orang tentang peristiwa
tersebut. Kejadian di tahun 1998 pun banyak menjadi setting dalam sebuah
cerita. Yang saya ingat dulu pernah membaca novel 2 karya Dhonny Dirgantoro
penulis novel 5 cm yang juga bercerita tentang kejadian tahun 1998. Kemudian
kemarin menonton film Merry Riana yang setting ceritanya juga kerusuhan tahun
1998. Baru saja saya kelar membaca sebuah novel berjudul Dua Masa di Mata Fe karya
Dyah Prameswarie yang juga mengambil setting waktu tahun 1998.
Keluarga Asen dilanda kecemasan saat kerusahan pecah di
Jakarta. Cemas karena para perusuh memasang target akan menghabisi warga
keturunan. Asen pun memutuskan keluarganya akan ke meninggalkan Jakarta dan
pergi ke Surabaya. Surabaya menjadi tempat yang dituju karena mereka pernah
tinggal di sana walaupun bukan masa-masa indah yang mereka lewati ketika berada
di Surabaya.
Pernikahan Asen dan istrinya tidak mendapat restu dari kedua
belah pihak. Asen adalah keturunan Cina, sementara Padma istrinya adalah
keturunan India. Asen dan Padma telah dikaruniai 2 orang anak, Fe dan Edric.
Namun, rencana ke Surabaya itu kandas karena sebelum fajar terbit lingkungan
rumah mereka diserang. Sebenarnya Asen dan keluara sudah bersembunyi di dalam
rumah saja, namun tetangga yang dengki mengabarkan kalau memang ada warga
keturunan etnis Tionghoa di lingkungan tempat mereka tinggal. Padahal Asen
sudah memasang tulisan di depan pintu rumah mereka dengan tulisan milik pribumi.
Tragedi pun terjadi pada keluarga Asen, mereka tidak hanya
kehilangan rumah yang dibakar para penjarah tapi juga nyawa. Namun yang membuat
para tetangga heran hanya ditemukan 3 jenazah di kediaman Asen. Padahal mereka
sekeluarga berjumlah 4 orang. Ke mana satunya?
Fe, adalah nama yang selamat. Sebelum peristiwa penjarahan
dan penyerangan itu terjadi, Fe bersembunyi di dalam bagasi mobil. Sementara
mobil milik keluarga mereka dicuri oleh seseorang bernama Raish. Raish sendiri
dalam kondisi terpaksa bergabung dengan para penjarah. Dia juga terkejut saat
mengetahui kalau komplotannya bukan hanya menjarah tapi juga membakar dan
membunuh. Raish dicekam ketakutan dan bersembunyi dari kejaran polisi di bawah
setir mobil milik Asen. Raish memang bertugas untuk mengambil kendaraan pemilik
rumah. Pada saat rombongan polisi bubar, Raish pun melarikan mobil tersebut.
Namun, di tengah perjalanan menuju rumahnya di Jawa Barat,
Raish kaget mendapati ada satu orang manusia di bagasi mobil. Fe. Raish pun
berlagak seperti seorang relawan yang menyelamatkan Fe dari kerusuhan di
ibukota dan ingin mengembalikan Fe pada keluarga yang tersisa. Raish
menyembunyikan kenyataan kalau dia adalah bagian yang membunuh dan menjarah
keluarga Fe. Beragam peristiwa dan perjalanan dilalui keduanya. Hingga cinta
pun bersemi di antara mereka.
***
Ketika membaca bagian awal novel ini, ingatan saya langsung
tertuju pada bagian awal film Merry Riana yang saya tonton beberapa hari yang
lalu. Nyaris persis sama. Ada keluarga keturunan yang menonton TV tentang
kerusuhan dan kemudian dilanda kecemasan. Pun dengan tulisan di ruko-ruko yang
mengklaim milik pribumi atau milik muslim pribumi. Saya dapat merasakan
ketegangan yang terjadi saat itu. Tapi novel ini terbit sebelum film Merry
Riana rilis, buku Merry Riana pun tak sepenuhnya sama dengan filmnya. Jadi,
saya menyimpulkan tidak ada plagiat karena kesamaan ini.
Ketegangan yang sama juga saya rasakan saat Fe dan Raish
berada di rumah penduduk ketika mobil mereka mogok. Yang saya sayangkan, kenapa
Raish tidak memperhitungkan situasi. Perjalanan Bandung-Surabaya jauh karena
ditempuh dengan mobil tua, mengapa tidak berpikir untuk menginap di salah satu
penginapan di salah satu kota. Hingga tidak terjebak pada situasi yang
mengancam jiwa. Tapi ya namanya juga cerita :p
Rasanya juga gemes sekali dengan sikap beberapa orang di
dalam novel ini yang membuat konflik jadi terjadi. Semisal, Asen ayahnya Fe
yang menolak usulan orang-orang agar segera pergi dari ibukota saat itu juga.
Bukannya setuju malah mengulur waktu sampai pagi. Entah oleh alasan apa.
Begitu pun dengan ulah salah satu tentangga Asen yang justru
menunjukkan di mana saja rumah milik warga keturunan, padahal salah satu
penduduk bernama Ahmad sudah berjuang untuk tutup mulut walau harus dihajar
massa. Itulah bahayanya dengki. Tetangga Asen itu mendengki karena warga keturunan di sana lebih maju usahanya ketimbang dirinya.
Tapi polah tokoh di dalam novel ini yang bikin saya gemes
justru memberikan pelajaran pada kita untuk memperhitungkan segala sesuatu
dalam mengambil keputusan. Bahwa keputusan yang kita ambil pada detik ini akan
berimbas pada masa yang akan datang, baik atau buruk.
Membaca prolog, blurb dan judulnya, saya tadinya menduga
novel ini akan mengetengahkan konflik yang begitu kental tentang cinta beda ras
dan agama. Karena ada kata-kata di blurb ‘saat anakku tiba-tiba menjadi diriku,
mengalami hal yang sama, dan jatuh cinta pada orang yang berbeda warna kulit,
mata, dan keyakinan.’. Namun, konflik itu kurang tergarap dengan baik, karena
cerita tentang anaknya hanya pada prolog dan epilog.
Sekiranya tempo penceritaan lebih dipercepat, sehingga
cerita tidak berakhir di stasiun tentu akan lebih memperdalam konflik yang
terjadi. Atau bisa juga diceritakan dengan alur maju mundur, pada masa tahun
1998 dan sekarang. Oya, cinta antara Fe dan Raish tidak hanya terbentur pada
keyakinan, ras, dan warna kulit yang beda. Ingat, Raish juga berperan dalam
menjarah dan menghilangkan nyawa keluarga Fe. So, bagaimana penulis meramu
konflik tersebut dalam cerita? Sila baca di bukunya. Hihihi…..
Judul : Dua Masa di Mata Fe
Penulis
: Dyah Prameswarie
Penyunting : Sasa
Penerbit : Moka Media
Tebal
Buku : iv + 220 Halaman
ISBN
: 979-795-872-8
Tahun
Terbit : 2014
Komentar
Posting Komentar
Tulis Komentar Anda