Langsung ke konten utama

Memanfaatkan Waktu Yang Tak Akan Kembali


Seorang ayah selalu ingin memberikan yang terbaik untuk keluarganya termasuk yang utama adalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya. Sebagai tulang punggung keluarga, sering para ayah tidak menyadari, kalau kesibukannya mencari nafkah sampai tidak mengenal waktu justru merenggut waktu mereka bersama keluarga. Hal itulah yang dialami Yanuar. Ayah dari dua anak Hafsha dan Feru.

Di tengah masa berkabung saat kehilangan istrinya, Esther, Yanuar harus bangkit untuk menjalani kehidupan demi kedua anaknya. Sejak beberapa jam setelah istrinya meninggal, Yanuar tahu kalau akan ada saatnya dia harus memasak untuk kedua anaknya. Tapi, hingga dua minggu selepas kepergian istrinya, Yanuar belum juga melakukannya.

Memasak ikan goreng tepung itu bukan masalah besar buat Yanuar, dia tinggal mesontek dari buku resep. Namun yang tak tertahankan adalah perasaan bahwa Yanuar harus mengakui bahwa istrinya benar-benar telah pergi, bahwa masakan Esther tidak akan pernah ada lagi, bahwa Yanuar kini seorang diri. Yanuar harus berhenti menganggap Esther hanya berlibur ke tempat yang jauh. (Halaman 2)

Hal yang kemudian membuat Yanuar bertambah sepi dan terluka saat dia menyadari kalau dia tidak terlalu dekat dengan anak-anaknya. Seolah ada jarak yang jauh antara dia dengan Hafsha dan Feru. Yanuar salah menggunakan tepung saat memasak salmon, Yanuar juga tidak bisa membacakan dongeng sebelum tidur. Hafsha dan Feru malah merindukan kehadiran Wira, adik Yanuar, untuk bermain bersama mereka.

Yanuar tidak ingin menyerah. Dia ingin berjuang untuk menebus waktu yang pernah terlewat membersamai anak-anaknya tumbuh besar. Yanuar berusaha menjadi ayah yang baik. Pulang lebih awal dari biasanya dan ingin selalu ada bersama anak-anaknya. Perubahan tidak serta merta terjadi. Seorang Yanuar tidak biasa untuk meninggalkan pekerjaan kantor atau pun meminta izin kepada atasan untuk menemani dan membersamai anak-anaknya. Waktu berjalan semakin cepat, dan Yanuar tidak berani menduga-duga apa jadinya jika dia tidak terlibat dalam rentang waktu antara anak-anaknya kecil dan anak-anaknya dewasa. (Halaman 88)

Di awal usahanya mendekatkan diri dengan anak-anak Yanuar sering kebingungan. Bahkan untuk memulai obrolan dengan anak-anaknya saja, Yanuar tidak tahu bagaimana cara memulainya. Seiring berjalan waktu, Yanuar mulai memahami bahwa dia tidak harus memulai, karena anak-anaklah yang sering kali mengangkat topik-topik menarik, seperti, “Kenapa langit biru, Papa?”, “Apa ada awan yang warna pink, Papa?”, “Kutub Utara itu di mana, Papa?” (Halaman 133)

Saat Yanuar sudah dekat dan akrab dengan anak-anaknya, Yanuar diliputi perasaan bersalah, karena dia baru dekat dengan anak-anaknya saat istrinya sudah tiada. Yanuar baru menyadari betapa bahagianya berada di tengah keluarga. Yanuar berkata dalam hatinya, “Mengapa selalu harus ada yang dikorbankan, atau berkorban, agar seseorang menyadari betapa berharganya hal-hal yang mereka miliki? (Halaman 157)

Sebagai seorang pria dewasa, Yanuar juga mulai memperhatikan sosok wanita lain. Karyawan baru di kantornya, Lieselotte, menarik perhatiannya. Urusan mencintai bagi Yanuar kini bukan sesuatu yang mudah. Kalaupun dia bisa bersama Lieselotte, Yanuar tidak yakin bisa menyingkirkan bayang-bayang mendiang istrinya. Belum lagi kedua anaknya harus beradaptasi dengan kehadiran orang baru, yang pasti membutuhkan banyak waktu. (Halaman 186)

Saat Lieselotte resign dari kantornya, Yanuar pun merasa gamang. Antara ingin mempertahankan gadis cantik itu atau tidak memedulikannya. Yanuar merasa takut menghadapi yang namanya perpisahan, karena perpisahan dengan istrinya sudah begitu membuat dia terluka. Begitupun saat putrinya, Hafsha, diajak mertuanya untuk ke San Fransisco, menunaikan wasiat mendiang istrinya agar Hafsha bisa bersekolah di San Fransisco.

Waktu adalah sesuatu yang tidak bisa dikembalikan. Anak-anak tumbuh dewasa dan pada saatnya mereka akan hidup mandiri tidak lagi tergantung dengan orangtuanya. Priceless Moment mengajarkan pada kita bahwa uang bukan segalanya bagi seorang anak. Mereka ingin besar dan tumbuh dengan perhatian juga keberadaan orang tua mereka. Membangun kedekatan dan hubungan yang harmonis antara orangtua dan anak di sela kesibukan bukan sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Dikemas dalam sebuah cerita yang manis dan mengharukan, jalinan cerita di dalamnya tak hanya menyuguhkan kisah yang romantis tapi juga penuh makna.

***

Judul               : Priceless Moment
Penulis            : Prisca Primasari
Penyunting      : Yulliya Febria
Penerbit           : GagasMedia
Tebal Buku      : 298 + vi Halaman
ISBN               : 979-780-738-x

Tahun Terbit    : Cetakan Pertama, 2014

Komentar

  1. kok jd mellow ya baca resensi ini :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Apalagi baca bukunya, Mbak. Saya mewek2 deh bacanya :-)

      Hapus
  2. bukunya kok nyesek bagi saya, sebagai lelaki belum siap untuk ditinggal sendirian bersama anak-anak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukunya emang mengharukan banget. Buat para suami dan bapak selepas membaca bukunya mungkin akan lebih mencintai istrinya ya :-)

      Hapus
  3. Halo salam kenal, Mbak :)
    wah ini buku masih ada di timbunan. jadi berniat baca setelah lihat review diatas. sepertinya banyak mellow-nya yah ini novel :|

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo juga :-)

      Iyaaa.... entah saya yang cengeng atau bukunya memang mengharu biru tapi saya nangis2 gitu bacanya :D

      Hapus

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda

Postingan populer dari blog ini

Novel yang Berkisah Tentang Poligami

Kebahagiaan dalam pernikahan adalah harapan setiap insan yang menikah. Mereka berharap pasangan dalam hidupnya adalah yang pertama dan terakhir serta hanya maut yang bisa memisahkan. Hal itu juga dialami oleh Arini. Arini yang menyenangi dunia dongeng selalu menganggap hidupnya pun akan berakhir bahagia seperti dongeng-dongeng yang selama ini ia ketahui. Happily Ever After. Semuanya semakin sempurna saat Arini menemukan sang pangeran yang membangun istana cinta bersamanya. Pras, adalah lelaki baik hati itu. Bersama Pras, Arini dikaruniai tiga anak-anak yang cerdas. Karier Arini sebagai penulis pun terus berjalan.

Membangun Kebiasaan demi Kehidupan yang Lebih Baik

Bagi sebagian manusia keahlian adalah bakat, tapi bagi sebagian yang lain keahlian adalah masalah latihan dan pengembangan. Menurut buku How to Master your Habits, keahlian adalah hasil pilihan, latihan dan pengulangan yang dibuat itu. Habits adalah segala sesuatu yang kita lakukan secara otomatis, bahkan kita melakukannya tanpa berpikir. Habits adalah suatu aktivitas yang dilakukan terus menerus sehingga menjadi bagian daripada seorang manusia. Dia adalah kebiasaan kita.  Mungkin kita pernah merasa heran (kita? Saya maksudnya :p) Kenapa mas-mas penjual nasi goring itu begitu lihat memasukkan bumbu demi bumbu hingga tersaji nasi goreng yang enak. Yang rasanya dari hari ke hari ya sama kayak gitu. Tidak berubah. Padahal dalam proses memasaknya yang saya lihat sepenuhnya, tak ada sedikitpun mas-mas penjual nasgor itu mencicipi hasil masakannya. Kok bisa rasanya pas? Dan sama dari hari ke hari? Itu karena memasak nasgor sudah menjadi kebiasaan. Sesuatu yang dilakukan berulan

In a Blue Moon - Ilana Tan

Membaca buku yang belum beredar di toko buku itu rasanya sesuatu. Apalagi bukunya banyak ditunggu para fans penulis tersebut. Ada sensasi rasa senang ketika melahapnya. Terima kasih buat ka Fitri Gita Cinta yang sudi meminjamkannya ;-) In a Blue Moon adalah karya terbaru dari Ilana Tan. Buku yang saya baca berstatus Contoh Cetakan dan Tidak untuk dijual. Seperti karya Ilana Tan sebelumnya, unsur romance yang kental tetap menjadi ciri khas Ilana Tan dalam karya teranyarnya ini. Lucas Ford harus menerima perjodohan yang dicetuskan oleh sang kakek. Ketika Lucas bertemu dengan tunangannya itu, Lucas kaget karena dia sudah mengenal gadis itu sebelumnya. Sophie Wilson bukan orang baru dalam kehidupan Lucas, mereka pernah saling mengenal saat masih duduk di bangku SMA. Kakek Lucas pun senang mengetahui cucunya sudah mengenal dengan seseorang yang dia ingin jodohkan. Namun, Sophie menegaskan sesuatu, “Kami hanya bersekolah di SMA yang sama. Tidak bisa dibilang berteman.”