Langsung ke konten utama

Adriana : Novel Remaja Berbalut Sejarah

Jika karpet itu berganti lima kali, aku akan menjumpaimu di tempat dua ular saling berlilitan pada tongkatnya, saat proklamasi dibacakan

Itulah teka-teki yang diterima Mamen dari seorang gadis yang menyedot perhatiannya di Perpustakaan Nasional. Bukan teka-teki biasa, tapi teka-teki yang berhubungan dengan sejarah. Berhubung Mamen sudah terpanah pesona si gadis, maka Mamen pun memeras otak untuk memecahkan teka-teki tersebut.

Parahnya, Mamen selalu membolos ketika pelajaran PSPB waktu SMA dulu. Jadilah dia begitu kesulitan memecahkan teka-teki tersebut. Tapi, ada satu teman Mamen yang jago PSPB yang membantu Mamen : Sobar. Pada karpet tersebut ternyata ada tulisan jum’at. Jika berganti lima kali berarti hari selasa. Saat proklamasi dibacakan tentu dunk kita bisa menebak jam berapa detik-detik proklamasi biasanya dibacakan setiap 17 Agustus. Yup, jam 10 pagi. Sementara clue tempatnya malah diberi tahu Sobar adalah di Taman Proklamasi dengan alasan 2 proklamator kita itu dulu bersandingan kemudian bertikai.


Namun, setelah ditunggu, gadis yang ditemui Mamen di Perpustakaan Nasional tak juga kunjung datang. Sobar keliru? Tepatnya, Sobar memberikan informasi yang salah. Karena Sobar yang menemui si gadis di Museum Fatahillah. Dua ular berlilitan hanya ada di lambang kedokteran Internasional, diadopsi dari tongkat Hermes. Yang sepertinya letaknya ada di Museum Fatahillah.
“Harinya adalah tiga hari setelah Fatahillah mengusir Portugis dari Pelabuhan Sunda Kelapa. Masanya sampai pada perang Diponegoro. Namun orang-orang yang merana itu tahu, saat mati, jasad mereka terkubur jauh dari tanah tumpah darah mereka sendiri. Aku yang menunggumu adalah Adriana, pada mimpinya yang tak pernah mati.”

Itu merupakan teka-teki kedua yang diberikan si gadis yang ternyata bernama Adriana buat Mamen. Tetap dengan dibantu Sobar, Mamen memecahkan teka-teki tersebut. Dan teka-teki selanjutnya terus bermunculan yang membuat Mamen terus memutar otak. Tapi, siapa sangka ternyata Adriana juga menerima teka-teki entah dari siapa. Yang membuat dia juga bergegas-gegas untuk memecahkan teka-teki tersebut.

Itulah sekilas cerita di Novel Adriana, Labirin Cinta di Kilometer Nol. Sebuah novel remaja yang bertemakan cinta tapi dibalut dengan sejarah. Teka-teki kedua silakan tebak sendiri jawabannya :p
 
Yang mau saya komentarin pertama dari novel ini adalah PSPB. Kalian tahu apa itu PSPB? Tanya ke personel Coboy Junior mungkin pada nggak tahu kali ya jawabannya. PSPB itu Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Seingat saya nih ya, PSPB itu udah lama bener diganti menjadi Pendidikan Sejarah.

Waktu saya sekolah udah makai nama Pendidikan Sejarah. Pas nggak tuh setting tahun 2009 dan diceritakan di tahun 2009 itu dia kuliah udah sekitar 4-5 tahun, yang berarti dia itu angkatan 2004 atau 2005 kuliahnya masih menyebut PSPB untuk pelajaran sejarah di SMA? Sementara saya yang angkatan 2003 aja udah kagak ada PSPB, udah diganti sama pelajaran Sejarah doang. *nyinyir deh nyinyir*

Komentar keduanya, ya ampyuun... Dialognya banyak bener. Padahal saya penyuka dialog lho. Tapi kalau kebanyakan dan ditampilin kayak orang chatting ini gregetan juga bacanya. Terlebih banyak Hahahaha-nya itu loh. Hahahahaha? Iya, ketawanya secara gamblang ditulis Hahaha dan banyak banget lagi. Dalam satu halaman bisa terdapat 5 Hahaha (hal 11).

Contoh nih ya :
“Hahaha.” Kini wanita itu menebar tawa.
“Mana cowok itu?” tanyanya lagi.
“Dia juga menunggumu,” jawab Sobar.
“Di mana dia?”
“Di Taman Proklamasi.”
“Hahaha, kok bisa?”
“Dia selalu mencontekku dari SMA, malas belajar, begitu makanya.”
“Hahaha.”

Tapi, di balik kekurangan yang saya rasakan pada novel ini, saya akui novel ini menarik. Terutama oleh saya yang mengklaim diri suka dengan sejarah. Hahahaha.... *ikutan ter-Hahaha*. Menelusuri jawaban-jawaban dari teka-teki yang ada di novel ini membuat yang membacanya jadi melek sejarah.

Hey, apa anda yakin proklamasi kemerdekaan Indonesia benar-benar dibacakan jam 10 pagi? Jika dalam teks proklamasi itu memang tertulis jam 10, bukankah di tahun 1945 belum ada pembagian waktu Indonesia bagian barat? Yang dipakai saat itu adalah waktu Tokyo. Waktu Tokyo jam 10, berarti di jakarta jam 8 pagi.

Saya juga jadi tahu kalau Muhammad Husni Thamrin itu berdarah betawi. Dan apa makna dibalik senyum di patung MH Thamrin. Senyum kemenangan karena berhasil mengusahakan api agar terus menyala. Soekarno yang saat itu dibuang di sebuah tempat yang terkena wabah malaria berhasil dipindahkan ke tempat yang aman oleh lobi MH Thamrin.

Tapi, api itu kemudian padam juga. Cara paling halus memadamkan api adalah memasukkannya ke dalam ruang hampa udara, maka dengan begitu dia akan perlahan-lahan padam. Hal ini sangat sering diceritakan abah kepada saya tentang kematian Presiden pertama Indonesia itu. Seorang Soekarno mati dengan menyedihkan setelah melawati masa tahanan rumah, tanpa boleh bertemu siapa pun, tanpa boleh membaca apa pun. (Hal 164)

Sejarah lain yang tersebut di novel ini dan menjadi cerita favorit saya di halaman 128.

Kejadiannya persis beberapa saat sebelum Bung Karno wafat. Beliau terbaring di Wisma Yuso. Keadaan Bung Karno yang semakin kritis membuat Pemerintahan Soeharto mengizinkan beberapa kerabat membesuk beliau.

Beliau, bapak itu, wakil presiden pertama kita pun datang menjenguk.

“Hatta, kau di sini?”

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?” tanya Pak Hatta.

Bukannya menjawab Bung Karno malah balik bertanya, “Hoe gaat het met jou?” Bagaimana kabarmu. Selanjutnya tak ada yang didengar Pak Hatta lagi dari bibir Soekarno selain kata “Schoenen” yang artinya sepatu.

Sepatu, apa makna sepatu yang disebut Bung Karno pada Pak Hatta?

Tahun 1851, Carl Franz Bally dan saudaranya Fritz, di basement rumah mereka di Schonenwerd di Distrik Solothurn, Swiss mendirikan usaha sepatu yang diberi label ‘Bally & Co’. Usaha ini berkembang dengan cepat keluar Swiss. Sepatu merk ‘Bally’ ini kemudian melangkah menjelajah Eropa, hingga benua Amerika dan akhirnya tiba di Asia. Kini butik khusus sepatu mewah ini berada di hampir seluruh kota ternama di Amerika Utara. (Hal 130)

Seseorang kemudian wafat pada Maret 1980. Dan ketika keluarganya membereskan berkas-berkas di meja laki-laki yang baru saja dikebumikan itu, mereka menemukan sebuah potongan iklan koran terbitan akhir tahun lima puluhan yang digunting dengan rapi.

Apa isi potongan iklan itu?

Iklan yang memuat alamat penjual sepatu Bally di Jakarta.

Beliau ternyata sangat memimpikan memiliki sepatu itu. Sampai akhir hayatnya, seorang Bung Hatta tak pernah mampu membeli sepatu impiannya itu. Padahal sebagai wakil Presiden, beliau bisa saja meminta orang-orang, pengusaha untuk membelikannya atau memakai uang negara. Tapi tidak dia lakukan. (Hal 131)

Huwaaaa.... Saya terharu sangat membaca kisah tersebut. Dicari! Dicari! Pemimpin untuk Indonesia yang seperti beliau.

Itulah sekelumit sejarah yang nyelip-nyelip di buku ini. Sejarah lainnya? Buanyaaak. Dari lukisan Raden Saleh sampai Revolusi Perancis. Dan juga tentunya Adriana yang ternyata adalah seorang putri dari seorang Gubernur Jendral asal Belanda yang sangat perhatian pada penderitaan rakyat pribumi. Adriana yang makamnya ada di Kebun Raya Bogor.

Novel ini sudah difilmkan. Saya jadi penasaran dengan filmnya, bagaimana sejarah-sejarah diceritakan lewat film. Lebih menarik mungkin, karena lewat film bisa melihat langsung monumen-monumen dan situs-situs sejarah yang diceritakan di novel ini. Karena settingnya Jakarta dan saya nggak familiar dengan kota itu, maka lewat film yang menampilkan bentuk visual bisa membantu saya lebih mengenali apa-apa yang disebut di novel ini.

Oh ya, saya juga waktu ke Gramedia menemukan novel ini yang edisi baru. Dengan covernya yang berubah seperti cover film. Novelnya pas saya pegang terasa lebih tipis dari novel yang saya baca ini. Entah apa beda edisi lama dengan edisi baru. Mungkin Hahaha-nya sudah berkurang?



Judul : Adriana (Labirin Cinta di Kilometer Nol)

Penulis : Fajar Nugros & Artasya Sudirman

Penyunting : Azzura Dayana & Nessy Apriyani

Penerbit : Lingkar Pena

Tahun Terbit : Januari 2010 (cetakan pertama)

Tebal Buku : 400 Halaman

Komentar

  1. PSPB! Ha! saya ingetnya dulu nama pelajarannya cuman Sejarah doang Mba Yanti. Hihihihi. Itupun pas ujian buku terbuka di atas. Saking parahnya memori ingatan saya sampai gak peduli berapa nilai yang akan saya dapatkan. Tapi sekarang menyesal jugak sih.. Huhuhu...
    Seru kayaknya ini buku. Tapi dialog kayak chatting gitu kadang emang bikin capek Mba. Etapi saya sih suka. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuiiih... enak bener sejarah buku terbuka? Saya cuma suka ama cerita2 di sejarah itu, Mas. Kalau udah ngapalin tahun, angkat tangan deh. Suka ketuker2 :D
      Jangan2 PSPB waktu SD ya. Soalna pas MTsN (Sederajat SMP) seingat saya udah ga ada PSPB. Hehehe...
      Dialognya kurang smooth ama narasinya, Mas. Padahal bagus banget ide novel kayak gini. Brilian :)

      Hapus
  2. pspb itu perasaan sebutan untuk pelajaran sejarah waktu sd dan smp..ketauan umur penulisnya berapa yak..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha.... Nah, jadi aneh kan mbak untuk angkatan 2004 atau 2005 masih menggunakan istilah PSPB

      Hapus
  3. tebel juga ya, mba. baru tau istilah PSPB :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga saya ga salah ketik deh yang 400 halaman. Hihihi... Buku pinjaman, bukunya udah dibalikin. Nah kan angkatan jadul tuh yang pakai PSPB :D

      Hapus
  4. Berkunjuuuung, nice review Mbak Yanti, banyak belajar dari rumah ini :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Tulis Komentar Anda

Postingan populer dari blog ini

Novel yang Berkisah Tentang Poligami

Kebahagiaan dalam pernikahan adalah harapan setiap insan yang menikah. Mereka berharap pasangan dalam hidupnya adalah yang pertama dan terakhir serta hanya maut yang bisa memisahkan. Hal itu juga dialami oleh Arini. Arini yang menyenangi dunia dongeng selalu menganggap hidupnya pun akan berakhir bahagia seperti dongeng-dongeng yang selama ini ia ketahui. Happily Ever After. Semuanya semakin sempurna saat Arini menemukan sang pangeran yang membangun istana cinta bersamanya. Pras, adalah lelaki baik hati itu. Bersama Pras, Arini dikaruniai tiga anak-anak yang cerdas. Karier Arini sebagai penulis pun terus berjalan.

Membangun Kebiasaan demi Kehidupan yang Lebih Baik

Bagi sebagian manusia keahlian adalah bakat, tapi bagi sebagian yang lain keahlian adalah masalah latihan dan pengembangan. Menurut buku How to Master your Habits, keahlian adalah hasil pilihan, latihan dan pengulangan yang dibuat itu. Habits adalah segala sesuatu yang kita lakukan secara otomatis, bahkan kita melakukannya tanpa berpikir. Habits adalah suatu aktivitas yang dilakukan terus menerus sehingga menjadi bagian daripada seorang manusia. Dia adalah kebiasaan kita.  Mungkin kita pernah merasa heran (kita? Saya maksudnya :p) Kenapa mas-mas penjual nasi goring itu begitu lihat memasukkan bumbu demi bumbu hingga tersaji nasi goreng yang enak. Yang rasanya dari hari ke hari ya sama kayak gitu. Tidak berubah. Padahal dalam proses memasaknya yang saya lihat sepenuhnya, tak ada sedikitpun mas-mas penjual nasgor itu mencicipi hasil masakannya. Kok bisa rasanya pas? Dan sama dari hari ke hari? Itu karena memasak nasgor sudah menjadi kebiasaan. Sesuatu yang dilakukan berulan

In a Blue Moon - Ilana Tan

Membaca buku yang belum beredar di toko buku itu rasanya sesuatu. Apalagi bukunya banyak ditunggu para fans penulis tersebut. Ada sensasi rasa senang ketika melahapnya. Terima kasih buat ka Fitri Gita Cinta yang sudi meminjamkannya ;-) In a Blue Moon adalah karya terbaru dari Ilana Tan. Buku yang saya baca berstatus Contoh Cetakan dan Tidak untuk dijual. Seperti karya Ilana Tan sebelumnya, unsur romance yang kental tetap menjadi ciri khas Ilana Tan dalam karya teranyarnya ini. Lucas Ford harus menerima perjodohan yang dicetuskan oleh sang kakek. Ketika Lucas bertemu dengan tunangannya itu, Lucas kaget karena dia sudah mengenal gadis itu sebelumnya. Sophie Wilson bukan orang baru dalam kehidupan Lucas, mereka pernah saling mengenal saat masih duduk di bangku SMA. Kakek Lucas pun senang mengetahui cucunya sudah mengenal dengan seseorang yang dia ingin jodohkan. Namun, Sophie menegaskan sesuatu, “Kami hanya bersekolah di SMA yang sama. Tidak bisa dibilang berteman.”